Kemunculan
dan Eksistensi Kaum Miskin Kota
Kaum miskin kota ialah gelandangan dan pengemis. Gelandangan adalah satu dari banyak elemen penghuni kota banyak telah ada sejak awal abad ke-20. Mereka memanfaatkan los-los pasar, stasiun dan makam sebagai tempat tidur mereka. Menurut Justin M. Sihombing (2005:79). Munculnya gelandangan secara struktural dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang menimbulkan dampak berupa terasingnya sebagian kelompok masyarakat dari sistem kehidupan ekonomi. Kaum gelandangan membentuk sendiri sistem kehidupan baru yang kelihatannya berbeda dari sistem kehidupan ekonomi kapitalis. Munculnya kaum gelandangan ini diakibatkan oleh pesatnya perkembangan kota yang terjadi secara pararel dengan tingginya laju urbanisasi.
Kelompok selanjutnya adalah pengemis. Pengemis itu dapat dikategorisasikan menjadi 3 golongan. Pertama, orang yang menjadi pengemis karena miskin, sakit dan cacat. Kedua, adalah orang yang menjadi pengemis sebagai profesi, dan masih memiliki kesehatan yang prima. Ketiga, adalah orang yang menjadi pengemis karena menderita penyakit menular.
Para pendatang yang menjadi gelandangan dan pengemis datang ke kota kebanyakan hanya bermodalkan peruntungan, mereka datang tanpa modal, tanpa adanya relasi atau kerabat dan tidak punya keterampilan yang memadai. Namun tidak menutup kemungkinan juga bagi mereka yang meskipun punya relasi ataupun keterampilan dapat hidup lebih baik, mereka pun bisa masuk dalam kaum miskin apabila kalah dalam menjudikan nasib mereka di kota. Biasanya pendatang yang punya cukup modal yang punya kesempatan untuk memperoleh nasib baik.
Kemunculan kaum pengemis dan gelandangan tidak bisa dilepaskan dari akibat berkembangannya sebuah kota. Apalagi untuk kota metropolis sekelas Jakarta. Di Jawa, kota-kota lain seperti Surabaya, Bandung, Semarang juga lambat laun akan seperti Jakarta. Namun jika pembangunan tidak diikuti dengan perbaikan taraf kehidupan untuk manusianya, kota metropolis akan menjadi tidak sebenarnya. Maksudnya jumlah penduduknya sudah mencapai jutaan jiwa, namun tetap tidak dapat memberikan pelayanan sebagaimana layaknya kota metropolis. Lantas
julukan yang lebih tepat untuk disandang adalah “miseropolis”, alias kota yang bergelimang kesengsaraan, semrawut
tak terkendali, miskin dengan fasilitas dan unilitas kota, mengakibatkan
penderitaan bagi warganya.
Di
kota kaum miskin berusaha bertahan hidup dengan cara-cara yang dapat mereka
lakukan semampunya. Mereka hidup
menempati tanah-tanah pemukiman yang bukan milik mereka. Tanah-tanah tersebut
adalah milik tuan-tuan tanah atau milik pemerintah (negara). Tanah-tanah negara
yang kosong umumnya terdapat disepanjang rel kereta api, di sepanjang tepi atau
bantaran sungai, di daerah rawa-rawa dan paya-paya, di sekeliling stasiun
kereta api, di sekeliling pasar, dan di sekeliling pekuburan umum.
Untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama kebutuhan primer seperti makan,
minum, pakaian, tempat, tinggal, kebersihan badan, dan sebagainya. Saat mereka
tidak dapat atau tidak mampu bekerja di sektor formal, maka mereka mencari
kerja di sektor informal, misalnya saja menjadi pedagang asongan atau pedagang
kaki lima. Adanya sektor informal dalam kehidupan kota juga menyebabkan adanya
pola patron-klien dalam pengorganisasian kehidupan sosial, ekonomi, politik
yang berlaku di luar jalur-jalur kehidupan formal atau resmi.
Sumber :
Budiharjo,
Eko. Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan, Perkotaan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 1987.
Margarana,
Sri dan M. Nursam, ed., Kota-Kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan
Permasalahan Sosial. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2010.
Suparlan,
Pasurdi. Masyarakat & Kebudayaan Perkotaan Perspektif Antropologi
Perkotaan. Jakarta: Penerbit YPKIK. 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar