9 Juni 2012

Reog....reog....reog Ponorogo Cah...!!!!!


Reog adalah sendratari tradisional yang berasal dan berkembang di kabupaten ponorogo. Reog dapat segera dikenali dari irama gamelannya yang membangkitkan semangat, serta baunya yang menimbulkan rangsang & daya tarik. Biasanya pergelaran reog didukung oleh kekuatan mistik. Hal ini mengakibatkan pertunjukkannya kadang-kadang menyeramkan. Dulu  reog merupakan sebuah tarian arakan cinta raja kerajaan wengker (kini Ponorogo) yang meminang putri kilisuci anak airlangga, raja kediri. Kini reog biasa dimainkan dalam resepsi pernikahan, khitanan, atau juga untuk menyambut tamu agung. Kadang-kadang reog juga dimainkan pada perayaan-perayaan lain, misalnya pasar malam, taman hiburan, setiap minggu juga mempergelarkan reog.
Perangkat musik reog sederhana. Irama melodi anehnya berasal dari bunyi terompet khusus yang disebut salompret bernada pelog diiringi rampak ketipung, kendang, ketuk, kenong, gong serta angklung yang bernada slendro. Nada-nada sumbang yang dihasilkan, yang merupakan panduan antara laras slendro dan pelog, menghasilkan suasanan mistik, aneh, sekaligus mempesona. Iramanya yang dinamis dan bergelora sangat mudah mengundang penonton untuk berkumpul.
Pakaian pemain reog serba hitam dengan ikat kepala yang disebut udeng. Bajunya berwarna hitam, longgar, tidak bercorak dan dipakai tanpa mengaitkan kancingnya sehingga dada pemakainya tampak jelas. Celananya yang sangat longgar juga berwarna hitam : panjangnya hanya sampai di bawah lutut. Celana ini dilengkapi ikat pinggang (koloran) berwarna putih.
Reog ponorogo biasanya terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok pengawal atau kelompok pembuka, kelompok dengan sikap garang dan angkuh yang terdiri atas 3 sampai 4 orang bercelana panjang longgar hitam dengan kaus bergaris merah hitam. Kelompok kedua adalah kelompok pendamping bertugas mengamankan situasi dan biasanya berada di sisi kanan kiri rombongan. Kelompok ketiga adalah kelompok penari terdiri atas pemain barongan, pemain topeng, penari kuda kepang, serta penari dan pemain cadangan. Kelompok keempat adalah kelompok pemukul gamelan yang lazimnya berada di belakang para penari terdiri atas peniup terompet, pemukul gendong dan gong, pemusik angklung, pemukul, ketuk kenong, pemukul ketipung serta 2 orang pemikul dan pemukul kempul; dan kelompok penggiring yang merupakan kelompok terbesar biasanya berada paling belakang untuk ikut menari, menyanyi dan bersorak sorai menghidupkan suasana.
Ada 3 hal yang melengkapi saat pertunjukkan reog yaitu Barongan yang melambangkan harimau dan dhadhak merak yang melambangkan burung merak, Topeng, Kuda kepang yang melambangkan binatang piaraan tunggangan manusia. Barongan dan dhadhak merak, yang selalu berpasangan sangat tenang, berwibawa meskipun angkuh. Dhadhak merak yang digunakn beratnya berkisar 50-70 kg. Biasanya barongan dilakukan oleh dua orang. Gerakan yang sering digunakan barongan saat pementasannya yaitu menggerakkan kepala belakang lalu dihentakkan ke depan (kebat), mengibaskan dhadhak ke samping (gebes), menjatuhkan diri ke tanah lalu berguling (guling), hingga melentingkan tubuhnya ke belakang hinggga kedua tanagnnya menyentuh tanah (ngayang) lalu dengan mengandalkan kekuatan dan kelenturan gigi, kembali berdiri pada posisi semula, barongan yang lain berdiri dipinggir lingkaran, kadang-kadang berjalan mengelilingi lingkar pementasan (kiter) atau menggerak-gerakkan bulu-bulu merak dengan tanagnnya (keblak), pertunjukkan barongan ini lebih merupakan pertunjukkan adu ketangkasan antara dua pembarong. Masing-masing memamerkan kekuatan dan kelenturan tubuh mereka
Topeng yang selalu dikenakan bujangganong yang pandai berakrobat menimbulkan kesan lucu dengan geraknya yang lincah. Reog ponorogo memiliki 3 wujud topeng, yakni topeng hewan, topeng manusia dan topeng raksasa. Topeng barongan adalah topeng hewan, sedangkan topeng bujangganong, topeng berwujud raksasa dengan dahi mengganong (menjorok) adalah topeng raksasa. Warna topeng raksasa ini merah tua atau hitam, matanya melotot, rambutnya panjang ke depan, serta hidungnya besar dan panjang. Yang merupakan topeng manusia adalah topeng kelono. Topeng berambut panjang ini memerankan prabu kelono sewandono.
Bila kuda kepang mulai beraksi, pertunjukan mulai menyeramkan karena unsur magisnya meskipun gaya kuda kepang ini cukup lunak dengan mimik mempesona yang memikat penonton.
 Di dalam pertunjukkan reog juga terdapat penari jathil yang terdiri atas 4 orang baik itu jathil cilik maupun jathil dewasa, penari jathil memakai pakaian bermotif parang barong, stagen berwarna merah, diselipkan sempur bewarna kuning dan merah dan ikat kepala. Penari jathil juga tak lupa memasang tahi lalat palsu di dahi. Tahi lalat yuang dipasang di dagu pada penari jathil merupakan kontruksi komunitas Reog agar telihat “cantik” atau paling tidak “manis”. Penari jathil yang ikut dalam pementasan reog ada yang berumur 11-12 dan disebut sebagai jathil cilik. Sedangkan jathil dewasa berumur 18-21. Dalam pementasannya jathil cilik menggunakan jaran kepang(eblek) dan gerakan-gerakan yang ditarikan adalah sembah, jalan nyongklang, kebyak sampur, ukel, sedangkan penari jathil dewasa tidak menggunakan jaran kepang. Pakaian yang digunakan adalah kemeja pitih mengkilat, kemeja brukat transparan dan memakai kemeja bewarna merah dengan bahan brukat.
Tari jathil sudah ada sejak zaman prasejarah yang digunakan dalam upacara pemujaan kuda (totemisme) ini dahulu dilakukan oleh hanya dua orang saja yang menunggang kuda-kudaan dari anyaman bambu. Penunggang kuda dibuat kesurupan sehingga berlaku sebagai kuda, yakni dicambuki, diberi makan rumput, makan padi dan daun-daunan lain kegemaran seekor kuda. Hadirnya roh (non material) dalam material, jiwa dalam badan jatilan merupakan simbol paradoks. Yang paradoks itu berupa bersatunya dua unsur yang saling bertentangan. Semua kehadiran dualistik ini saling membelakangi atau berhadapan hadir dalam satu kesatuan. Yang disebut “ada” itu paradoksal.
Klimaks dari setiap pertunjukkan di desa-desa yaitu pada saat adegan “terkaman” atau tubrukan antara kepala barongan dengan pantat Jathil karena adegan ini selalu disambut dengan riuh rendah teriakan dan suitan penonton. 
Dalam bukunya Sumardjo, kesenian teater tradisional, termasuk reog pada masyarakat religi asli difungsikan sebagai pemanggil kekuatan gaib, menjemput roh-roh pelindung untuk hadirdi tempat terselenggaranya pertunjukkan, memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat, peringatan pada nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan atau kepahlawanannya, pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang dan pelengkap upacara untuk saat-saat tertentu dalam siklus waktu. Fungsi-fungsi ini beberapa diantaranya masih akan terus hidup tetapi bila reog ini difungsikan diluar upacara, semuanya hanya mempunyai nilai profan saja.  Tarian dalam upacara ini dilakukan sebagai wujud partisipasi dalam aturan kosmos itu sehingga hidupnya menjadi otentik dan bernilai.
Berdasarkan bentuk dan konteks pementasan reog, masyarakat menyebut bentuk pertunjukkan reog malam bulan purnama dan Festival Reog Nasional (FRN) sebagai “Reog Festival” atau “Reog Kabupaten” , sedangkan jika pertunjukkan reog di desa disebut “ Reog Obyogan” atau “Reog Desa”.
Reog Festval biasanya dipentaskan dalam acara-acara resmi dan formal semacam Festival Reog Nasional (FRN), penyambutan tamu pemerintah. Sedangkan reog obyogan atau reog dea biasanya ditanggap oleh individu, keluarga atau desa dalam acara-acara khusus eperti pernikahan, khitanan, slametan atau bersih desa. Sebenarnya nama “obyogan” atau diebut juga “gambyongan” adalah sebutan bagi salah satu bagian dari pertunjukkan reog dalam tanggapan desa-desa yang menampilkan tarian dan penari Jathil secra bebas. Para jathil biasanya melepas jaran kepangnya, lalu menari dengan iringan music yang macam-macam mulai dari jaipongan hingga dangdut, melayu atau campur sari. Pada saat obyogan atau gambyongan penonton biasanya ikut berjoget dengan para penari jathil. Oleh karena itu, istilah obyogan lebih ring digunakan untuk menyebut kategori penari Jathil, sebagai oposisi dari “jathil festival” atau “jathil salon’. Dalam pentas reog reog obyogan selain barongan, penrai jathil mendapat posii sentral dalm pertunjukkan.
Berbeda dengan lagi jika reog festival dipentaskan di sebuah panggung pertunjukkan dengan level-level tertantu atau dalam pengertian sebuah panggung yang mempunyai batas-batas antara penonton dan pemain. Tidak seperti reog obyogan yang sesuai dengan situasi dan kondisi tempat pementasan.
Dalam improvisasi reog obyogan lebih spontan dalam melakukan gerakan, sedangkan reog festival melakukan gerakan standar atau gerakan yang telah ditentukan. Salah satu pembeda lagi adalah masalah sponor. Jika reog festival sponsornya adalah lembaga-lembaga formal, sedangkan reog obyogan sponsornya adalah orang yang melakukan pementasan(si penanggap). 






sumber:
1.      Fauzannafi, Muhammad Z. 2005, “Reog Ponorogo: Menari Di Antara Dominasi dan Keragaman”. Kepel Press, Yogyakarta, Januari 2005.
2.      Listiani, Wanda. 2008. Tafsir Komologis Reog Ponorogo. diakses dari http://wandalistiani.wordpress.com/2008/05/12/tafsir-kosmologis-reog-ponorogo/ pada 12 Mei 2008 pukul 3:48 pm.


                                    



Tidak ada komentar: